ENGKERAMAN EKONOMI KAPITALISME
GLOBAL DI INDONESIA
I
Oleh: Dwi
Condro Triono
PENDAHULUAN
Saat ini kita tengah berada di abad kapitalisme. Di
seantero jagad dunia ini tidak ada yang terbebas dari cengkeramannya, termasuk
Indonesia tentunya. Sesungguhnya setiap manusia yang tinggal di atas muka bumi
ini sudah bisa melihat, memahami dan merasakan bagaimana dampak yang
ditimbulkan oleh “ulah” kapitalisme global ini. Tidak perlu dengan kuliah di
fakultas ekonomi yang tinggi, mereka yang tidak “melek” huruf-pun akan langsung
bisa menjawab ketika ditanya tentang wajah ekonomi yang berlangsung saat ini,
walaupun tidak bisa memberikan istilah yang tepat untuknya. Semua orang
langsung dapat “mendeteksi”, bahwa ada ketidakberesan dari tata ekonomi yang berlangsung
saat ini. Sangat nampak, bahwa wajah ekonomi saat ini terus berjalan menuju
kepada dua kutub yang sangat berlawanan. Satu kutub telah membawa mereka yang
kaya menjadi semakin kaya, sedangkan kutub yang lain terus menyeret mereka yang
miskin menjadi semakin miskin dengan jumlah yang terus membengkak.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis ingin
memberikan dua hal penting yang harus dilakukan untuk bisa menghadapi semua
fenomena ini. Pertama, kita harus dapat menunjukkan apa sesungguhnya
yang menjadi akar permasalahan, sehingga keadaan ekonomi dapat menjadi seperti
ini. Apakah benar, bahwa semua tragedi ekonomi ini memang bersumber dari
“ajaran” ekonomi kapitalisme? Kedua, jika memang benar, maka kita harus
memiliki strategi khusus untuk dapat membendung kapitalisme global tersebut,
sekaligus dapat menghadirkan ekonomi alternatif yang dapat menjadi
penggantinya.
II. MENCARI AKAR
PERMASALAHAN
Untuk menunjukkan keterkaitan ajaran kapitalisme dengan
tragedi ekonomi yang saat ini berkembang, analisis yang pernah diajukan Karl
Marx sesungguhnya sudah cukup ampuh untuk dapat memahami fenomena tersebut. Ada
dua teori penting dari Karl Marx yang perlu kita fahami bersama (Deliarnov,
1997 & Koesters, 1987):
1. Surplus labor and value theory
Dalam membangun teorinya, Marx berangkat dari pandangan nilai (value) terhadap barang
dan jasa menurut Adam Smith dan David Ricardo. Nilai suatu barang itu diukur
dari seberapa banyak tenaga yang
telah dikorbankan oleh pekerja untuk memproduksi barang tersebut. Selanjutnya
Marx melihat bahwa dengan adanya perubahan pola produksi dari sistem yang
primitif kepada sistem yang modern, maka akan muncul ketidakadilan dalam ekonomi.
Pola produksi yang primitif:
1. Kepemilikan
bersifat individual.
2. Produksi
bersifat individual.
3. Penjualan
bersifat individual.
4. Pembagian
keuntungan bersifat individual.
Pola produksi yang modern:
1. Kepemilikan
bersifat individual.
2. Produksi
bersifat kolektif.
3. Penjualan
bersifat kolektif.
4. Pembagian
keuntungan bersifat individual.
Dalam pola produksi modern, yang bekerja adalah buruh-buruh perusahaan. Majikan sebagai pemilik perusahaan,
kenyataannya tidak pernah terlibat dalam proses produksi. Akan tetapi,
majikanlah yang menikmati seluruh keuntungan
yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Sementara itu tenaga para buruh hanya
dianggap sebagai bagian dari komponen biaya
produksi. Sesuai dengan teori ekonomi kapitalisme, untuk memperoleh
keuntungan yang maksimum, maka salah satu metodenya adalah dengan menekan biaya produksi seminimum mungkin.
Jika nilai barang itu diukur dari besarnya tenaga yang telah dikorbankan, maka
sesungguhnya telah terjadi surplus
nilai tenaga buruh yang telah diambil oleh majikannya. Dengan demikian,
ekonomi kapitalisme adalah ekonomi yang sangat dzalim terhadap kaum buruh dan menjadi surga bagi para kapitalis.
2. The law of capital accumulations
Menurut Marx, dalam persaingan yang bebas, perusahaan
yang besar akan senantiasa “memakan”
perusahaan yang kecil. Oleh karena itu, jumlah majikan akan semakin berkurang, sebaliknya jumlah kaum buruh akan
semakin banyak. Demikian juga, jumlah perusahaan yang besar juga akan semakin
sedikit, namun akumulasi kapitalnya
akan semakin besar. Jika jumlah buruh semakin banyak, maka akan berlaku hukum upah besi (the iron wages law).
Dengan demikian, nasib kaum buruh akan semakin tertindas sedangkan para kapitalis akan semakin ganas dan serakah.
Analisis yang dikemukakan oleh Marx memang masih terlalu
sederhana untuk ukuran perkembangan ekonomi kapitalisme saat ini. Sebab,
perkembangan kapitalisme global di abad mutakhir ini sudah semakin canggih dan
kompleks. Keserakahan kaum kapitalis tidak hanya sampai pada pemerasan kaum
buruh dan pencaplokan pengusaha kelas teri, namun keserakahan mereka
sudah menerobos dan menjarah di banyak sektor yang lain, bahkan dengan dukungan
berbagai fasilitas dan lembaga yang mereka ciptakan sendiri. Berbagai sektor
maupun lembaga yang mereka ciptakan tersebut diantaranya adalah (Triono, 2007):
1. Sektor keuangan
Kaum kapitalis tidak hanya ingin membesar, tetapi mereka
juga ingin membesar dengan cepat.
Caranya ialah dengan menciptakan lembaga
perbankan. Fungsi utamanya adalah untuk mengeruk dana masyarakat dengan
cepat, sehingga dapat segera mereka manfaatkan untuk menambah modal perusahaannya
agar bisa menjadi cepat besar.
Ternyata keberadaan lembaga perbankan ini masih dianggap
belum cukup, mereka terus mengembangkan kreatifitasnya. Akhirnya ditemukanlah
ide untuk menciptakan sebuah pasar yang unik, yang selanjutnya mereka namakan
sebagai pasar saham. Dengan
adanya pasar ini, mereka dapat dengan mudah untuk melempar kertas-kertas
sahamnya agar dibeli masyarakat, sehingga mereka segera mendapatkan gelontoran
modal yang mampu untuk membuat perusahaan mereka menjadi cepat menggurita.
2. Sektor kepemilikan umum
Nafsu kapitalisme tidak akan pernah mengenal kata
“cukup”. Mereka tidak pernah ingin berhenti. Mereka tidak hanya ingin berhenti
untuk untuk bermain di wilayah pasar hilir saja, tetapi mereka terus merangsek
untuk mencaplok sumber-sumber ekonomi di wilayah hulu. Dengan dalih kebebasan
ekonomi dan kebebasan pasar, mereka juga ingin menguasai wilayah-wilayah
ekonomi yang seharusnya menjadi milik umum yang menyangkut hajat hidup orang
banyak. Wilayah ekonomi yang ingin terus mereka kuasai tersebut misalnya adalah
berbagai macam sektor pertambangan, sumber daya hutan, sumber daya air, minyak
bumi, gas, jalan raya, pelabuhan, bandara dsb.
3. Sektor kepemilikan Negara
Jika mereka sudah banyak menguasai sektor kepemilikan
umum, maka bagi kaum kapitalis tetaplah belum dianggap cukup. Mereka kemudian
melirik kepada perusahaan-perusahaan yang banyak dimiliki oleh Negara. Dengan
dalih demi efektivitas dan efisiensi perusahaan, mereka akan mendorong
perusahaan milik Negara tersebut untuk go public, dengan jalan melego
sahamnya ke pasar, dengan harga yang murah tentu saja.
4. Sektor kekuasaan
Menjadi besar dan cepat besar ternyata masih dianggap
belum cukup. Mereka juga ingin memiliki rasa aman terhadap keberadaan
perusahaan-perusahaan mereka. Jaminan rasa aman hanya dapat diperoleh jika
mereka bisa merambah ke wilayah kekuasaan. Sebab, di sektor inilah berbagai
produk hukum akan dibuat. Jika mereka bisa memasuki sektor ini, maka mereka
akan dengan mudah untuk dapat melahirkan berbagai produk hukum dan kebijakan
yang dapat menguntungkan dan menjamin kelestarian kerajaan bisnis mereka.
Dalam politik demokrasi yang kapitalistik, untuk menjadi
penguasa prasyarat yang paling menentukan hanya satu, yaitu harus memiliki dana
yang besar untuk melakukan kampanye maupun untuk “membeli” suara rakyat. Hal
itu hanya mungkin dilakukan oleh kaum kapitalis yang memang sudah berkubang
dengan uang.
Cara yang mereka lakukan ada dua kemungkinan, yaitu
dengan langsung mencalonkan diri untuk menjadi penguasa, atau cara yang kedua
adalah dengan mendanai orang lain lain agar menang dalam pemilihan dan dapat menjadi
penguasa. Mereka yang telah dicalonkan oleh kaum kapitalis, jika menang maka
dia harus “menghambakan” diri kepada mereka yang telah mendanai bagi
kemenangannya.
5. Sektor moneter
Apakah sepak terjang kaum kapitalis di atas sudah cukup?
Ternyata masih tetap belum cukup. Nafsu serakah untuk terus-menerus melakukan
penjarahan kekayaan di berbagai sektor dan ke berbagai negeri ternyata ingin
terus mereka lakukan. Dengan apa? Ternyata mereka masih memiliki cara yang
benar-benar canggih dan nyaris lepas dari logika akal sehat manusia. Mereka
menciptakan sebuah mekanisme ekonomi yang dapat memperlicin seluruh sepak
terjang mereka, yaitu dengan mewujudkan sebuah sistem mata moneter yang
benar-benar menguntungkan mereka.
Sistem moneter yang mereka kembangkan adalah dengan
menggunakan basis utama uang kertas. Dengan berbasiskan pada uang kertas,
mereka akan mendapatkan tiga keuntungan sekaligus, yaitu; keuntungan dari seignorage,
keuntungan dari suku bunga dan keuntungan dengan mempermainkan kurs bebas.
Dengan model tree in one inilah mereka akan dapat memperoleh keuntungan
yang berlipat-lipat dengan tanpa harus banyak mengeluarkan banyak keringat.
6. Sektor pendidikan
Masih ada satu sektor lagi yang tidak boleh dilupakan,
yaitu sektor pendidikan. Mengapa sektor ini harus terseret ke dalam lingkaran
kapitalisme? Kepentingan mereka sangat jelas, yaitu kebutuhan untuk memperoleh
tenaga kerja yang sangat professional, memiliki skill yang tinggi dan
mau digaji dengan sangat murah.
Caranya adalah dengan “melemparkan” dunia pendidikan ke
pasar bebas mereka. Peran Negara untuk mengurus pendidikan harus dikurangi,
subsidi biaya pendidikan harus “dihabisi”, sehingga biaya pendidikan bisa
menjadi mahal dan produk yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan tuntutan
pasar. Model pendidikan seperti ini hanya mengasilkan manusia-manusia yang
pragmatis, oportunis dan hanya bermental jongos. Sangat sulit dalam
dunia pendidikan yang mahal dapat menghasilkan manusia-manusia yang idealis
yang mau berfikir tentang jati dirinya maupun jati diri bangsanya.
III. CENGKERAMAN
KAPITALISME DI INDONESIA
Untuk memahami apakah sebuah negara itu bercorak
kapitalisme ataukah sebaliknya yaitu sosialisme, maka indikator yang paling
mudah untuk digunakan adalah dengan melihat seberapa besar pihak-pihak yang
menguasai sektor ekonominya. Jika sektor-sektor ekonomi lebih banyak dikuasai
oleh swasta, maka negara tersebut cenderung bercorak kapitalisme dan sebaliknya,
jika ekonomi lebih banyak dikendalikan oleh negara, maka lebih bercorak
sosialisme
(Samuelson & Nordhaus, 1999).
Dengan menggunakan tolok ukur di atas, kita dapat
menelusuri sejauh mana cengkeraman kapitalisme telah menjalar ke Indonesia.
Sesungguhnya jejak kapitalisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia
mulai memasuki era pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru dimulai sejak
Bulan Maret 1966. Orientasi pemerintahan Orba
sangat bertolak belakang dengan era sebelumnya. Kebijakan Orba lebih berpihak
kepada Barat dan menjahui ideologi komunis.
Dengan membaiknya politik Indonesia dengan negara-negara
Barat, maka arus modal asing mulai masuk ke Indonesia, khususnya PMA dan hutang
luar negeri mulai meningkat. Menjelang awal tahun 1970-an atas kerja sama
dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia
(ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia
(IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju termasuk Jepang untuk
membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah
menggeser sistem ekonominya dari sosialisme lebih ke arah semikapitalisme
(Tambunan, 1998).
Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an sistem
ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Menilik kebijakan yang banyak
ditempuh pemerintah, kita dapat menilai bahwa ada sebuah mainstream
sistem ekonomi telah dipilih atau telah ‘dipaksakan’ kepada negara kita.
Isu-isu ekonomi politik banyak dibawa ke arah libelarisasi ekonomi, baik
libelarisasi sektor keuangan, sektor industri maupun sektor perdagangan. Sektor
swasta diharapkan berperan lebih besar karena pemerintah dianggap telah gagal
dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan
ekonomi, baik yang berasal dari eksploitasi sumberdaya alam maupun hutang luar
negeri (Rachbini , 2001).
Pakto ’88 dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan
libelarisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia,
yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi hutang luar negeri
perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi
Indonesia saat itu (Rachbini , 2001).
Masa pembangunan ekonomi Orde Baru-pun akhirnya berakhir.
Puncak dari kegagalan dari pembangunan ekonomi Orba ditandai dengan meledaknya
krisis moneter, yang diikuti dengan ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian
Indonesia.
Pasca krisis moneter, memasuki era reformasi, ternyata
kebijakan perekonomian Indonesia tidak bergeser sedikitpun dari pola
sebelumnya. Bahkan semakin liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang telah
ditentukan oleh IMF, Indonesia benar-benar telah menuju libelarisasi ekonomi.
Hal itu paling tidak dapat diukur dari beberapa indikator utama, yaitu (Triono,
2001):
1.
Dihapuskannya berbagai subsidi dari pemerintah secara bertahap. Berarti, harga
dari barang-barang strategis yang selama ini penentuannya ditetapkan oleh
pemerintah, selanjutnya secara berangsur diserahkan sepenuhnya pada mekanisme
pasar.
2. Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating
rate). Sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF,
penentuan nilai kurs rupiah tidak boleh dipatok dengan kurs tetap (fix rate).
Dengan kata lain, besarnya nilai kurs rupiah harus dikembalikan pada mekanisme
pasar.
3. Privatisasi BUMN. Salah satu ciri ekonomi yang liberal
adalah semakin kecilnya peran pemerintah dalam bidang ekonomi, termasuk
didalamnya adalah kepemilikan asset-asset produksi. Dengan “dijualnya” BUMN
kepada pihak swasta, baik swasta nasional maupun asing, berarti perekonomian Indonesia
semakin liberal.
4. Peran serta pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan
perjanjian GATT. Dengan masuknya Indonesia dalam tata perdagangan dunia
tersebut, semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk “kubangan”
libelarisasi ekonomi dunia atau kapitalisme global.
IV. MENUJU PERUBAHAN SISTEM EKONOMI
Setiap kita membicarakan perubahan, maka kita akan
dihadapkan pada dua kemungkinan perubahan, yaitu: perubahan secara fungsional
atau perubahan secara struktural. Menilik problem ekonomi yang sedang dihadapi
Indonesia, maka perubahan yang paling urgen yang harus segera dilakukan adalah
perubahan yang bersifat struktural, walaupun perubahan yang bersifat fungsional
juga tidak boleh dilupakan.
Perubahan ekonomi secara struktural berarti mengganti
sistem ekonominya, dari sistem ekonomi yang bercorak kapitalistik menjadi
sistem ekonomi yang baru. Namun, perubahan sistem tersebut bukan berarti
merubah sistem ekonominya menjadi sosialis, sebab sistem ekonomi ini juga sudah
terbukti gagal. Masih satu harapan lagi yaitu perubahan menuju sistem ekonomi
Islam.
Sebagaimana karakter perubahan yang bersifat sistemik,
maka sistem ekonomi Islam juga akan membongkar sebuah sistem ekonomi mulai dari
akarnya. Perubahan yang bersifat mendasar dari ekonomi Islam berangkat dari
sebuah pandangan terhadap kepemilikan dari harta kekayaan yang ada di muka bumi
ini. Islam memandang bahwa harta kekayaan yang ada di muka bumi ini tidak untuk
dibagikan secara bebas (sebagaimana sistem ekonomi kapitalisme) untuk manusia,
namun Allah swt telah memberi ketentuan yang adil dalam pembagiannya, yaitu
(An-Nabhani, 1990): kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan
Negara. Masing-masing kepemilikan terhadap harta kekayaan tersebut sudah ada
aturan-aturannya yang terinci, dengan mengikuti tiga runtutan perlakuan yang
adil, yaitu (An-Nabhani, 1990):
1. Pengaturan
dalam masalah kepemilikan (al-milkiyah).
2. Pengaturan
dalam masalah pemanfaatan dan pengembangan kepemilikan (al-tasharruf
fi al-milkiyah).
3. Pengaturan
dalam masalah distribusi harta
kekayaan di tengah-tengah manusia (tauzi’u tsarwah bayna al-nas).
Selanjutnya, sistem ekonomi Islam dalam suatu negara akan
dibangun dan dikembangkan dengan bertumpu kepada tiga pilar ekonomi Islam
tersebut. Insya Allah, jika pengaturannya konsisten, wajah ekonomi suatu
negara akan nampak sangat jelas perbedaannya dengan wajah ekonomi yang bercorak
kapitalistik.
DAFTAR RUJUKAN
Deliarnov, 1997, Perkembangan
Pemikiran Ekonomi, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.
Koesters, Paul
Heinz, 1987, Tokoh-tokoh Ekonomi
Mengubah Dunia – Pemikiran-pemikiran yang Mempengaruhi Hidup Kita,
Gramedia, Jakarta.
An Nabhani,
Taqyuddin, 1996, Membangun Sistem
Ekonomi Alternatif - Perspektif Islam, Alih Bahasa Muh. Maghfur, Risalah
Gusti, Surabaya, Cet. II.
Rachbini, Didik J., Republika 27 Juni 2001
Samuelson, Paul
A. & Nordhaus, William D., 1999, Mikroekonomi,
Alih Bahasa: Haris Munandar dkk., Erlangga, Jakarta.
Tambunan,
Tulus, 1998, Krisis Ekonomi dan Masa
Depan Reformasi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta.
Triono, Dwi
Condro, Makalah Seminar Setengah Hari dengan tema “Dilema Pembangunan Bidang Keteknikan Dalam Krisis Perekonomian
Indonesia” Fakultas Teknik Universitas Janabadra Yogyakarta. Tanggal 15
Agustus 2001.
Triono, Dwi Condro,
Makalah Seminar dengan tema “Islam dan
Tantangan Ekonomi Global” Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta. Tanggal
22 Mei 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar