|
ABSTRAC
Local tax and retribution local
retribution is the source of important enough local finance in determining
budget of local development. During the time in compiling monetary budget of
local is always weared by goal system, what often times less base the potency
which in fact.
Forthat need of local tax and
retribution performance analysis trought contribution, ratio accreation of
growth, mean, and proportion, with connectively the items, hence will know by
potency of source of finance which in fact, according to his classification
whether: Prima. Potential, Expanding, or Situated behind.
Keyword: tax. Retribution, finance, budget,
potency.
PENDAHULUAN
Implementasi Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 membawa angin segar terhadap
demokratisasi dan pelaksanaan pembangunan di daerah, yaitu adanya kewenangan
yang semakin besar untuk mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk kewenangan
dalam menentukan anggaran. Implikasi positifnya, bahwa kewenangan penyusunan
anggran program kegiatan yang aspiratif bagi masyarakat dan disesuaikan dengan
potensi yang ada.
Oleh karena itu, salah satu aspek yang harus
diperhatikan adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.
Anggaran daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah
daerah, yang mempunyai posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan
efektifitas pelaksanaan pelayanan publik oleh pemerintah daerah, maka anggaran
harus berorientasi pada kepentingan
masyarakat (client centered), yang menuntut transparasi informasi
anggaran kepada
publik dan termuat dalam laporan keuangan daerah
|
Permasalahan
pokok dalam mewujudkan kemandirian pemerintah Kota/Kabupaten, dapat dilihat
dari kemampuan daerah dalam membiayai sendiri jalannya roda pembangunan di
daerahnya, atau dengan kata lain dapat dilihat dari ratio PAD terhadap APBD.
Pada umumnya menunjukkan bahwa rata-rata besarnya kontribusi PAD terhadap APBD
hanya berkisar 20%.
Berbagai
penelitian-penelitian menunjukkan bahwa PAD belum banyak tergali. Rendahnya
penggalian disebabkan karena (1) Sosialisasi pajak daerah (tax education)
yang rendah, (2) Sistem dan Prosedur koleksi PAD yang lemah dan (3) Estimasi
PAD yang lebih rendah dari potensi sebenarnya. (Mardiasmo dan Makhfatih, 2000 ;
Makhfatih, 200).
Rendahnya
edukasi pajak disebabkan karena kurang pahamnya masyarakat dalam memahami hasil
pungutan dan alokasinya. Pada umumnya
penerimaan pajak dimasukkan dalam penerimaan umum. Sementara
masing-masing pungutan baik itu sifatnya pajak atau retribusi mempunyai tujuan
sendiri-sendiri. Sebagai contoh adalah Retribusi pasar mestinya digunakan
sebagai “ongkos ganti”. (user charge) pengeluaran aktivitas dalam
operasional dan pengembangan pasar. Manakala semua penerimaan pajak maupun retribusi dimasukkan dalam penerimaan umum,
maka masyarakat tidak tahu aktivitas atau manfaat dari membanyar pajak atau
retribusi.
Berkait
dengan potensi Penerimaan daerah, yang dimaksud dengan Potensi penerimaan
daerah adalah kekuataan yang ada disuatu daerah
untuk menghasilkan penerimaan tertentu. UU No.32 Tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah dan UU No.33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan, memberi peluang yang “lebih banyak” kepada
daerah unutk menggali potensi, sekaligus melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber penerimaan.
Melalui pendeteksian, analisis berbagi potensi yang sudah ada dan mungkin
digali maka akan diketahui bagaimana sebenarnya potensi PAD suatu daerah
tersebut. Sehingga estimasi yang jauh dari data potensi daerah dapat dihindarkan. Sekaligus akan memberikan
modal bagi perencanaan pengembangan dan pembangunan daerah. Peningnya analisis
potensi ayat-ayat PAD ini akan memberikan kontribusi
dalam penyusunan anggaran, yang tidak hanya mendasarkan target dan
realisasi tahun sebelumnya namun lebih mendasarkan pada potensi yang
sesungguhnya. Dalam hal ini ayat-ayat PAD yang dianggap cukup penting adalah
pajak daerah dan retribusi daerah. Sistem target dan realisasi, kurang menjamin
untuk menunjukkan kinerja pendapatan daerah, karena pada dasarnya sistem target
realisasi hanya mendasarkan kepada
kemampuan kinerja tahun sebelumnya, kemudian dengan melakukan prediksi dengan
menaikkan beberapa prosen saja untuk perencanaan atau target tahun depannya,
tanpa mendasarkan pada potensi sebenarnya.
|
Penelitian ini dilakukan dikabupaten
Sragen, dan jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif,
mencoba untuk memberikan gambaran mengenai besarnya potensi Pajak daerah dan
beberapa retribusi daerah yang kontribusinya dapat diharapkan. Data utama yang
digunakan adalah data sekunder, tentang pendapatan asli daerah, khususnya
pendapatan pajak daerah dan retribusi daerah (laporan pendapatan pajak daerah
dan retribusi daerah tahun 2002 dengan tahun 2003).
|
Merupakan komitmen pemerintah untuk mengoptimalkan efisiensi dan
efektifitas sumber daya yang dimiliki agar siap mengantisipasi era globalisasi,
melalui reformasi dibidang keuangan yang diupayakan untuk meningkatkan daya
saing dan mengurangi hambatan-hambatan non-tarif, misalnya dengan deregulasi.
Salah satu langkah untuk mengantisipasi era globalisasi adalah dengan
pembenahan kebijakan fiskal. Yaitu kebijakan yang mengatur sumber-sumber
pendapatan suatu negara dan bagaimana sumber-sumber tersebut dialokasikan.
Pendapatan
daerah adalah semua perolehan uang/dana bagi daerah yang digunakan untuk pembiayaan urusan-urusan pemerintahan dan
pembangunan didaerah atau merupakan suatu anggaran daerah dalam menjalankan
roda pemerintahan (yang termasuk dalam APBD). Sedangkan Pendapatan asli Daerah
(PAD) adalah uang / dana yang diperoleh / digali dari usaha daerah itu sendiri
dengan kewenangan yang ada padanya.
Menurut
Mudrajad (1995), yang meneliti tentang PAD, menyatakan bahwa: “komponen yang
paling dominan mendukung PAD adalah komponen pajak daerah dan komponen
retribusi daerah”. Kedua sumber penerimaan itu merupakan” Sumber Penerimaan
yang Ideal”, artinya apapun bentuknya baik itu pajak atau retribusi pelayanan
(yang termasuk non pajak) mempunyai fungsi: (1) Fungsi Budgeter, adalah
fungsi anggaran, yaitu sebagai sumber penerimaan negara untuk membiayai
pengeluaran negara. Fungsi ini mempunyai sifat “ajeg dan selalu meningkat”.
Kriteria ajeg dalam arti selalu dapat diharapkan memmenuhi kas negara,
sedangkan kriteria selalu meningkat, artinya akan selalu mengalami kenaikan
pemasukan. (2) Fungsi Regulernt (Fungsi Pengaturan), yaitu sebagai alat
untuk mengatur atau melaksanakan
kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, (mengatur
redistribusi barang
dan jasa) dalam hal ini termasuk layanan. (Mardiasmo, 1995).
|
Jenis
penerimaan negara atau daerah yang memenuhi kedua fungsi tersebut secara utuh adalah penerimaan dari
jenis pajak. Sedangkan untuk rfetribusi lebih menonjolkan fungsi anggarannya (Budgeter),
yang pada dasarnya fungsi ini harus memenuhi criteria “ajeg” dan selalu “
meningkat”. Kriteria “ajeg” dalam arti retribusi tersebut bisa diharapkan memenuhi
kas negara / pemerintah, sedangkan kriteria “selalu meningkat” artinya sektor
itu diharapkan akan selalu mengalami kenaikan pemasukan.
Sebagai
sumber penerimaan yang ideal, maka pajak daerah dan retribusi daerah, merupakan
assesment potensi keuangan daerah, yang dimaksud adalah merupakan kekuatan yang
ada pada suatu daerah, untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Sejauh
mana pajak dan retribusi daerah tersebut dapat menjadi kekuatan atau sumber
penerimaan, bisa dilihat sejauh mana kinerja potensinya.
Kinerja
atau performence merupakan suatu proses penilaian kemajuan pekerjkaan
terhadap pencapaian tujuan yang telah ditentukan, termasuk informasi efisiensi
penggunaan sumber dan perbandingannya dengan target, efektifitas tindakan dalam
mencapai tujuan. (Robertson, 2002). Kinerja didefinisikan sebagai hasil kerja
(outcomes of Work) yang memberikan keterkaitan yang kuat terhadap tujuan
strategic organisasi dalam kontribusi ekonomi. (Roger, 1994).
Penarikan
atau pungutan pajak daerah, maupun retribusi daerah harus bersifat ekonomis,
efisien dan adil (economic, efficiency and equity) namun juga harus sederhana
dalam sistem administrasinya. Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah
daerah untuk memperbaiki sistem pengumpulan pajak daerah dan retribusi daerah
agar bisa meningkatkan PAD antara lain:
a. Dimilikinya sistem Akuntansi yang memadai sehingga
dapat dipastikan bahwa uang yang dikumpulkan telah diposting ke rekening
pemerintah daerah secara benar, dan ada keamanan yang cukup dari bahaya
pencurian, hilang atau salah hitung.
b. Checking sistem, pada setiap tahap sangat perlu
bahwa catatan-catatan tersebut di Cross-Checked, dan pengecekan mendadak (Spot
Check) dilakukan oleh staff senior secara acak.
c. Pelaporan hasil pengumpulan PAD perlu dimonitor
secara teratur dibandingkan dengan target dan potensi, dan hasilnya dilaporkan
kepada staf senior yang memiliki kewenangan mengambil keputusan bila terjadi
masalah.
d. Metode menghitung potensi PAD yang efektif.
(Mardiasmo, 2001)
|
Selanjutnya untuk menilai Kinerja Ayat
penerimaan Daerah, yang selanjutnya
digunakan untuk menentukan potensi
(mengklasifikasi) ayat penerimaan menjadi 4 klasifikasi yaitu: (1) Penerimaan Prima, Jika ratio tambahan (pertumbuhan) jenis pajak
atau retribusi daerah keduanya lebih besar atau sama dengan satu, (2) Penerimaan Potensial, jika ratio tambahan pertumbuhan jenis pajak
atau retribusi daerah lebih kecil atau sama dengan satu dan ratio
proporsi atau sumbangannya terhadap rata-rata total penerimaan pajak atau
retribusi daerah lebih besar atau sama dengan satu. (3) Berkembang, jika
ratio pertambahan pertumbuhan jenis pajak atau retribusi daerah lebih besar
atau sama dengan satu dan ratio proporsi atau sumbangannya terhadap rata-rata
total penerimaan pajak atau retribusi daerah lebih besar atau sama dengan satu.
(4) Terbelakang Jika ratio
Pertambahan pertumbuhan jenis pajak atau retribusi daerah dan ratio proporsinya
atau sumbangannya terhadap rata-rata total penerimaan pajak atau retribusi
daerah keduanya lebih kecil atau sama dengan satu (Masykur Wiratmo, makalah,
2001).
|
Alternatif kebijakan atau upaya yang
dapat diambil atau diterapkan dalam usaha meningkatkan setiap jenis
klasifiakasi yang disebut diatas akan berbeda-beda. Jika jenis pajak atau
retribusi termasuk prima, maka kebijaksanaan yang telah diterapkan pada
tahun-tahun sebelumnya dapat tetap digunakan dengan mempertahankan tingkat
pertumbuhan dan kontribusinya. Jika Potensial, maka upaya yang perlu dilakukan adalah dengan mengintensifkan
pemungutan dari sumber penerimaan yang ada sehingga terjadi pertumbuhan
penerimaan. Untuk pajak atau retribusi dengan klasifikasi Berkembang, upaya
peningkatan yang dilakukan adalah dengan menggali sumber-sumber baru dengan
tingkat pertumbuhan seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Jika pajak atau
retribusi dalam klasifikasi terbelakang, maka upaya peningkatannya dilakukan
dengan menggali sumber-sumber penerimaan baru dan meningkatkan penerimaan dari tahun
sebelumnya dari sumber peneriman yang ada.
Pada penelitian
ini menggunakan data perolehan dari
pajak dan retribusi daerah dengan tahun dasar 2002 dan perkembangan perolehan
tahun 2003. berikut perolehan dari masing-masing ayat pajak dan retribusi:
|
Realisasi Pajak Daerah Tahun 2002 – 2003
(dalam ribuan rupiah)
Jenis Pajak
|
Tahun 2002
|
Tahun 2003
|
P. Hotel
P. Restoran
P. Huburan
P. Reklame
P. Penerangan Jalan
P. Pengamb. Gol.C
|
22.091,1
70.560,2
22.776,8
42.074,4
3.898.092,4
20.548,7
|
22.170,0
82.661,3
25.027,2
53.275,4
4.726.031,7
25.263,2
|
Jumlah
|
4.076.143k6
|
4.934.428k8
|
Sumber: Didpenda Kab.Sragen
Berdasarkan hasil diatas, data
realisasi penerimaan pajak retribusi daerah tahun 2002 sampai dengan tahun 2003
ini akan dilakukan analisis, tentang potensi sumber penerimaan. Seberapa jauh pertumbuhan dan proporsi pajak daerah
maupun retribusi daerah pada tahun tersebut, dan bagaimana potensi yang
sebenarnya, apakah ayat-ayat penerimaan tersebut sebagai sumber penerimaan yang
dikategorikan sebagai potensi yang Prima, Potensial, Berkembang atau justru
terbelakang.
Analisis dilakukan
terhadap jenis pajak daerah terlebih dahulu, berdasarkan perhitungan maka
pertumbuhan pajak daerah pada tahun 2002 ke 2003 sebesar 21,1 %. Sedangkan
rata-rata penerimaan pajak daerah pada tahun 2003 sebesar Rp. 822.404,180,-
|
Hasil Perhitungan Pertumbuhan, Ratio Pertumbuhan
dan Proporsi
Penerimaan Pajak Daerah Tahun 2002 – 2003
Jenis Pajak
|
Pertumbuhan
(%)
|
R. Pertambahan
|
R. Proporsi
|
P. Hotel
P. Restoran
P. Hiburan
P. Reklame
P. Penerangan Jalan
P. Galian C.
|
0,35
17,1
9,8
26,6
21,2
22,2
|
0,02
0,8
0,5
1,3
1,0
1,1
|
0,03
0,1
0,03
0,06
5,7
0,03
|
Sumber: hasil analisis data sekunder
Dengan mendasarkan pada tabel tersebut
maka, khususnya menghubungkan antara ratio tambahan dengan ratio proporsi, maka
dapat ditentukan klasifikasi potensi pajak daerah: (1) Pajak Hotel,
dengan ratio tambahan 0,02 dan ratio Proporsi 0,03 maka pajak hotel termasuk Pajak
Terbelakang. (2) Pajak Restoran dengan ratio tambahan 0,8 dan ratio
proporsi 0,1 maka pajak Restoran termasuk Pajak Terbelakang. (3) Pajak
Hiburan. Dengan ratio tambahan 0,5 dan ratio proporsi 0,03 maka pajak
hiburan juga termasuk pajak terbelakang. (4) Pajak Reklame dengan ratio
tambahan 1,3 dan ratio proporsi 0,6 maka pajak Reklame termasuk Pajak
Berkembang. (5) Untuk Pajak Penerangan Jalan, dengan ratio tambahan
1,0 dan proporsi 5,7 maka pajak Penerangan jalan termasuk Pajak Prima, dan
(6) Pajak Galian C. dengan ratio tambahan 1,1 serta proporsinya hanya
0,003, maka pajak galian C termasuk Pajak Berkembang.
Selanjutnya
adalah hasil analisis dari 11 jenis retribusi yang dipilih, dengan pertimbangan
perolehannya cukup tinggi dari 29 jenis retribusi yang dipungut di Sragen.
Berdasarkan hasil perhitungan selama 2 tahun, yaitu pada tahun 2002 total
penerimaan retribusi sebesar Rp 12.125.303.500,- dan pada tahun 2003 naik
menjai Rp. 15.538.286.400,- maka ppertumbuhan retribusi daerah sebesar 28,1 %
dan rata-rata penerimaan retribusi pada tahun 2003 sebesar Rp 535.803.000,-.
Selanjutnya untuk kepentingan analisis ini tidak semua dilakukan perhitungan,
namun hanya menganalisis ayat retribusi yang ,penerimaannya cukup besar, ada 11
ayat retribusi yang akan dianalisis, selengkapnya lihat tabel berikut:
|
Tabel 3
Beberapa jenis retribusi yang Penerimaannya Cukup
Tinggi
Jenis retribusi
|
Th. 2002
|
Th. 2003
|
2. Retr. Pelay. Kesh
3. Retr. Pelai. Sampah
4. Retr. Biaya Cetak
5. Retr. Pasar
6. Retr. P. Kekay. Darh
7. Retr. Psr. Gros & Toko
8. Retr. Terminal
9. Retr. Rekreasi & OR
10. Retr. IMB
11. Retr. Ijin gangguan
12. Retr. Pely. Adm
|
6.503.623,5
201.539,9
795.643,5
2.115.921,7
247.780,8
393.017,1
135.785,2
358.628,6
471.870.,2
219.111,0
1983.163,7
|
9.160.902,5
225.624,0
660.187,5
2.533.444,2
385.278,6
184.101,6
399.336,6
357.278,3
303.393,3
201.747,4
196.643,4
|
Jumlah
|
11.645.084,0
|
14.610.437,4
|
Sumber: Dispenda Kab. Sragen.
Dengan mendasarkan tabel penerimaan
selama 2 tahun tersebut, dan diketahui besarnya pertumbuhan secara total dan
nilai rerata, maka dapat diperoleh ratio tambahan maupun proporsi masing-masing
ayat retribusi, berikut hasil perhitungan:
|
Hasil Perhitungan, Ratio Tambahan dan Proporsi
Realisasi Penerimaan Retribusi Daerah Th. 2002 –
2003
Jenis Retribusi
|
Pertumbuhan (%)
|
R. Tambahan
|
Proporsi
|
Retr. Pelay. Kesh
Retr. Pelay. Sampah
Retr. Biaya Cetak
Retr. Pasar
Rtr. P. Kekay. Darh
Rtr. Psr Gros & Toko
Rtr. Terminal
Retr. Rekreasi & OR
Retr. Ijin Gangguan
Retr. Pely. Adm
|
40,8
7,2
-17,0
19,7
55,5
1,6
35,6
-0.4
-35,5
-7,9
1,8
|
1,5
0,3
-0,6
1,9
1,9
0,05
1,3
-0,01
-1,2
-0,3
0,06
|
17,3
0,4
1,3
4,8
0,7
0,8
0,3
0,7
0,6
0,4
0,4
|
Sumber: Hasil analisis data Sekunder
Berdasarkan tabel perhitungan diatas,
maka dapat diklasifikasi jenis retribusi tersebut, sebagai berikut: (1) Ret.Pely.
Kesehatan, dengan ratio tambahan 1,5 dan proporsi 17,3 maka Ret. Tersebut
termasuk Retribusi Prima. (2) Ret. Pelay. Sampah dengan ratio tambahan
0,3 dan 0,4 maka termasuk Retribusi Terbelakang. (3) Ret Biaya Cetak
dengan ratio tambahan – 0,6 dan proporsi 1,3 maka retribusi ini sebagai
retribusi yang Potensial. (4) ret. Pasar, dengan ratio tambahan 1,9 dan
proporsi 4,8 termasuk retribusi Prima. (5) Ret. Pemakaian Kekay. Daerah,
dengan ratio tambahan 1,9 dan proporsi 0,7 maka termasuk ret. Berkembang. (7)
Ret. Grosir dan Toko, dengan ratio tambahan 0,05 dan proporsi 0,8 yang
keduanya kurang dari satu, maka termasuk Retribusi terbelakang. (8) ret. Tempat
rekreasi dan Olah Raga, dengan ratio tambahan –0,01 dengan proporsi 0,7, maka
termasuk Retribusi terbelakang (9) Ret. IMB, hasil perhitungan ratio
hanya – 1,3 dan proporsi 0,4 maka masuk kategori retribusi Terbelakang. (10)
ret. Ijin Gangguan, dengan ratio tambahan - 0,3 dan proporsi 0,4 juga
termasuk retribusi Terbelakang. (11) ret. Pelayanan Administrasi, dengan
Ratio tambahan sebesar 0,06 dan proporsi 0,4, maka juga termasuk Retribusi
Terbelakang.
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja pajak daerah dan retribusi
daerah dapat dikatakan cukup baik, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya
kenaikan target. Sedangkan untuk mengetahui potensi yang sebenarnya, dari
sumber penerimaan dengan analisis kinerja dengan menggunakan ratio tambahan
pertumbuhan dengan proporsi masing-masing ayat sehingga potensi itu dapat
dikalifikasikan dengan kategori: Prima, Potensial, berkembang, Maupun
Terbelakang.
|
Sedangkan
untuk retribusi daerah, sebagaimana dijelaskan didepan, bahwa untuk kabupaten
Sragen pada tahun 2002 ada 30 jenis retribusi, dan pada tahun 2003 ada 29
jenis, namun untuk kepentingan analisis penelitian ini hanya diambil 11 jenis
dengan pertumbuhannya sebesar 28,1% dan rata-rata pendapatan tahun 2003 sebesar
Rp. 527.940.800,- dari analisis 11 jenis retribusi hanya ada 2 retribusi Prima
(Retribusi pelayanan Kesehatan dan retribusi Pasar), sedang yang potensial
hanya 1, yang berkembang ada 2 dan sisanya masih dalam kategori terbelakang.
Jika
termasuk dalam kategori Prima, maka harus dipertahankan, jika termasuk dalam
kategori Potensial. Maka yang dilakukan adalah mengintensifkan yang sudah ada
biar tercapai pertumbuhan. Jika termasuk penerimaan berkembang, maka harus
dilakukan langkah ekstensifikasi, dan jika termasuk yang terbelakang, maka
justru perlu adanya evaluasi, apakah termasuk sumber penerimaan yang
menguntungkan atau jenis akan merugikan.
|
DAFTAR
PUSTAKA
Akhmad Makhfatih,
2001, Makalah: Upaya Peningkatan PAD, Surakarta:
Workshop: Manajemen Keuangan Daerah
Mardiasmo, 1995,
perpajakan, Edisi 5. Yogyakarta: ANDI
Mardiasmo dan A.
Makhfatih, 200, studi Potensi Pajak dan Retribusi Daerah Kabupaten Magelang, Magelang: Penelitian
Mardiasmo, 2001,
Manajemen Penerimaan Daerah dan Struktur APBD Dalam Era Otonomi Daerah,
Surakarta :Workshop: Manajemen
Keuangan Daerah
Masykur Wiratmo,
2001, Manajemen Penggalian Potensi
Penerimaan Daerah, Surakarta: Workshop: Manajemen Keuangan Daerah.
Roberston,
Gordon,2002, Loka Karya Raviu Kinerja, Jakarta : BPKB dan Executive Education
Rogers, Steve,
1994, Performance management in Local
Goverment. Essex: Longmans
Wisnu Untoro, dkk,
2000, Modul: Penyusunan Program dan Strategi Anggaran (Aplikasi AHP),
Surakarta: LPM-UNS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar